Ilustrasi. (FOTO.ANTARA News/Ist)


Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menunggu pemerintah Amerika Serikat melaksanakan keputusan Badan Banding Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) tentang sengketa terkait penjualan dan produksi rokok kretek.

"Kami akan tunggu apakah AS melaksanakan rekomendasi itu. Bila tidak, Indonesia dapat meminta konsultasi bilateral agar AS menerapkan rekomendasi tersebut," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo melalui pesan pendek kepada ANTARA Jakarta, Kamis.

Apabila permintaan konsultasi itu tetap tidak ditanggapi, lanjut dia, maka Indonesia dapat melakukan retaliasi silang atau "cross retaliation", yakni mengenakan pembatasan atau pelarangan penjualan produk AS di Indonesia senilai kerugian akibat pelarangan penjualan rokok beraroma asal Indonesia di AS.

"Nilainya sekitar 200 juta dolar AS, tapi saya harus cek ulang angka pastinya," katanya.

Ia mengemukakan itu menanggapi laporan Badan Banding Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang memperkuat putusan panel yang memenangkan Indonesia dalam kasus sengketa mengenai regulasi teknis Amerika Serikat (AS) terkait penjualan dan produksi rokok kretek.

Badan Banding WTO menerbitkan laporan tentang peraturan teknis AS yang mempengaruhi produksi dan penjualan rokok kretek Indonesia tanggal 4 April 2012.

Laporan itu menyebutkan bahwa regulasi AS dalam "Federal Food, Drug, Cosmetic Act" melarang produksi dan penjualaan rokok dengan ciri aroma seperti kretek, strawbery, anggur, jeruk, kopi, vanila dan coklat tapi tidak memasukkan rokok menthol, produksi negara itu, ke dalamnya.


Tidak Konsisten

Panel WTO menilai bagian ketentuan itu tidak konsisten dengan pasal dalam perjanjian "Technical Barriers to Trade" (TBT) karena berimplikasi pada pelarangan impor rokok kretek Indonesia tapi tidak melarang produksi dan penjualan rokok menthol sebagai produk yang "serupa."

Panel juga menilai pemberian interval kurang dari enam bulan antara publikasi dan pemberlakuan regulasi itu tidak konsisten dengan pasal dalam perjanjian TBT.

Dalam bandingnya, AS mengklaim panel salah menilai rokok kretek dan rokok menthol sebagai produk serupa dan bahwa aturan teknis itu memberikan perlakuan yang dampaknya merugikan rokok kretek Indonesia.

AS juga mengklaim panel salah jika menilai AS tidak konsisten dengan pasal dalam perjanjian TBT.

Badan Banding WTO memperkuat temuan panel yang menyimpulkan bahwa bagian dari regulasi teknis AS tidak konsisten dengan perjanjian TBT.

Badan Banding juga menyatakan bahwa determinasi "produk serupa" seharusnya tidak diinterprestasikan berdasar tujuan pengaturan dan isi regulasi melainkan pada hubungan kompetitif produk berdasar analisis tradisional keserupaan.

Kriteria tradisional keserupaan yang dimaksud meliputi karakteristik fisik, penggunaan akhir, selera dan kebiasaan konsumen dan klasifikasi tarif.

Dengan demikian, Badan Banding setuju dengan putusan panel bahwa rokok kretek dan rokok menthol merupakan
produk serupa sebagaimana dimaksud pasal 2.1 perjanjian TBT.

Badan WTO itu juga memperkuat putusan panel bahwa dengan hanya memberikan interval waktu selama tiga bulan antara publikasi dan pemberlakuan aturan teknis, AS telah melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan perjanjian TBT, karena merujuk pada keputusan menteri-menteri di Doha, interval waktu yang diberikan paling tidak enam bulan.

Kasus sengketa rokok AS dan Indonesia bermula saat AS menerapkan aturan teknis dalam "Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act" yang melarang produksi dan penjualan rokok beraroma termasuk rokok kretek namun mengecualikan rokok menthol.

Penerapan aturan itu membuat Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari ekspor rokok kretek sejak tahun 2009.

Panel WTO memenangkan Indonesia dalam sengketa itu namun AS kemudian mengajukan banding pada 5 Januari
2012.

Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor produk "cigarettes tobacco" (HS2402209010)--termasuk kretek-
Indonesia ke AS yang pada 2007 senilai 604.420 dolar AS turun menjadi 38.000 dolar AS pada 2009, saat regulasi teknis AS mulai diberlakukan.

Volume ekspor rokok jenis itu juga turun dari 30.196 kilogram pada 2007 menjadi 9.984 kg pada 2009.

Sementara tahun 2010 sama sekali tidak ada ekspor rokok jenis tersebut. (M035//A011)

Editor: B Kunto Wibisono

Sumber : Antara