Sunday, April 1, 2012

“Tank Medium”, Benarkah Lebih Cocok Dibanding MBT di Indonesia?


Seiring dengan makin gencarnya berita mengenai rencana TNI untuk mengakuisisi Main Battle Tank (MBT) Leopard 2A6, makin ramai pula suara pihak-pihak yang mendukung dan yang menolak, baik itu dari perseorangan, LSM-LSM maupun dari para wakil-wakil rakyat bahkan dari pensiunan perwira-perwira tinggi TNI yang pernah memangku jabatan strategis di masanya.

Suara-suara yang menolak, sebagian besar menyangsikan kecocokan MBT yang berbobot 62 ton itu bila digelar di Indonesia yang menurut pendapat mereka akan menjadikannya sebagai mainan mahal yang tidak bisa bergerak kemana-mana karena bobotnya yang sedemikian berat (atau dengan kata lain bakal “ambles”). Belum lagi bila mengingat kondisi sarana dan prasarana jalan serta kondisi geografis hutan belantara yang masih banyak serta medan berbukit-bukit dan bergunung-gunung di Indonesia. Lalu muncullah sebuah usulan supaya TNI menggunakan saja tank-tank medium berbobot lebih ringan karena dinilai akan lebih cocok buat digunakan disini selain juga karena PINDAD dinilai telah mampu untuk membuat tank jenis medium ini.

Segala opini-opini tersebut seakan menunjukkan bahwa mereka - dan bukan pihak TNI termasuk perwira yang masih aktif-lah - yang lebih tahu mengenai kebutuhan TNI dan mengenai kondisi medan, taktik penggelaran dan tipe-tipe alutsista yang paling tepat buat digunakan oleh TNI dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, opini-opini tersebut juga menunjukkan keterbatasan pengetahuan dan/atau “ignorance” mengenai apa yang sesungguhnya telah mampu dibuat oleh PINDAD disamping hal-hal lain yang masih berkaitan.

Tulisan ini akan memusatkan bahasan perihal tank medium yang dinilai lebih cocok digunakan di Indonesia. Untuk menghindari repetisi, disini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai mitos-mitos “ambles” dan penggelaran MBT dalam kondisi geografis hutan belantara serta perbukitan karena kedua hal ini sudah diulas lebih jauh di tulisan-tulisan dan diskusi-diskusi di forum-forum lain.

**********

I. Tank, apa itu sesungguhnya?

Ada salah kaprah yang cukup membingungkan disini dimana semua kendaraan militer yang menggunakan roda ban dimasukkan ke dalam kelompok “panser” dan yang menggunakan roda rantai disebut dengan “tank”. Hal ini makin menjadi ruwet manakala mengidentifikasi berbagai jenis kendaraan tempur lapis baja yang beragam fungsinya.

Contohnya untuk yang berpenggerak roda rantai,

antara ini:

ini:

dengan ini:

I.a. Jenis-jenis kendaraan tempur

I.a.1 APC

Menurut pengelompokan berdasarkan fungsinya, foto pertama (M-113) dimasukkan ke dalam golongan APC (Armored Personnel Carrier - Angkut Personil (ber)Lapis Baja) yang fungsinya adalah sebagai sarana “antar-jemput” pasukan di dalamnya antara markas dan medan tempur di garis depan. Karena APC tidak ditujukan untuk bertempur dan bergerak maju bersama infantri, maka kendaraan tempur jenis ini biasanya hanya dilengkapi dengan senapan mesin ringan atau sedang dan perlindungan lapis bajanya didesain hanya mampu untuk menahan proyektil kaliber yang setara tapi tidak diatas itu. Karena fungsinya inilah maka kendaraan tempur jenis APC pada umumnya memiliki lapis baja yang paling tipis dibanding jenis-jenis lain, dengan beberapa pengecualian seperti misalnya APC Namer buatan Israel yang sebenarnya adalah turunan dari MBT/Main Battle Tank Merkava (untuk jenis MBT akan dibahas belakangan). Dalam contoh M-113 diatas, baja bahkan tidak digunakan sebagai material proteksi karena “kulit” APC M-113 menggunakan alumunium dengan ketebalan bervariasi antara 12 hingga 38 milimeter yang tidak akan mampu menahan gempuran senapan mesin berat atau kanon otomatis.

I.a.2 IFV

Berlanjut ke foto kedua, BMP-3 buatan Rusia yang juga digunakan oleh Korps Marinir TNI-AL, dikategorikan sebagai IFV (Infantry Fighting Vehicle / Kendaraan Tempur Infantri). IFV ini digunakan untuk mendukung gerak maju infantri dengan menyediakan dukungan tembakan di garis depan. IFV juga mempunyai kemampuan untuk mengangkut infantri bersenjata lengkap walaupun biasanya dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding APC dan biasanya dipersenjatai dengan senapan mesin berat (12,7mm) atau kanon otomatis (20 s/d 40mm) hingga meriam kaliber besar (90 - 105mm). Dalam contoh BMP-3 diatas, selain meriam kaliber 100mm sebagai senjata utamanya, kendaraan tempur ini juga dilengkapi dengan satu kanon otomatis kaliber 30mm serta tiga senapan mesin sedang kaliber 7,62mm - dua di bagian depan kendaraan serta satu di turret yang dioperasikan secara manual. Dengan proteksi yang lebih baik dari APC dan dengan persenjataan menengah hingga berat yang dimilikinya, IFV memiliki kemampuan untuk menghadapi kendaraan tempur lawan sebatas APC atau IFV yang sebanding dengannya. Namun biarpun bisa dipersenjatai dengan peluru kendali anti lapis baja (seperti 9M117 Bastion di BMP-3 atau TOW di M-2/M-3 Bradley), IFV tidaklah dimaksudkan untuk menghadapi tank tempur lawan yang memiliki proteksi dan daya gempur terbaik dibanding jenis-jenis kendaraan tempur lainnya.

I.a.3 MBT

Foto ketiga diatas adalah contoh tipe kendaraan tempur dengan proteksi dan daya serang terbaik dari tipe-tipe lain yang telah diuraikan sebelumnya, dan bisa digunakan sebagai ujung tombak penyerangan atau sebagai benteng pertahanan bergerak. Foto diatas adalah Leopard 2 (versi A6) yang menjadi salah satu kandidat utama TNI berdasarkan input-input di lapangan dan yang telah teruji di segala medan. Baik itu di medan sebagian besar negara-negara Eropa yang berupa dataran, Swiss dan Afghanistan yang bergunung-gunung maupun wilayah tropis seperti di Singapura. Kendaraan tempur berat seperti ini disebut sebagai Main Battle Tank (MBT) atau Tank Tempur Utama yang sering disingkat sebagai “Tank” saja oleh angkatan bersenjata negara-negara yang mengoperasikan kendaraan tempur jenis ini. MBT dimaksudkan untuk melawan MBT lainnya sehingga dipersenjatai dengan meriam kaliber besar (120-125mm) yang mampu menghasilkan kecepatan laras (muzzle velocity) tinggi untuk menghantarkan proyektil kinetik penembus lapis baja. Karena lawan yang akan dihadapi juga memiliki kekuatan pemukul yang besar, mau tidak mau kendaraan tempur ini juga harus dilengkapi dengan perlindungan yang memadai yang otomatis menaikkan bobotnya menjadi sedemikian berat. Kemudian agar tetap mampu bergerak lincah di segala medan - mau itu di tanah gembur, berbukit dan berhutan lebat di wilayah tropis seperti di Malaysia dan Vietnam, medan gurun negara-negara Timur Tengah, salju dan seterusnya - diberikanlah tapak jejak (track) yang lebar dengan mesin yang berkekuatan tinggi sehingga setiap MBT modern saat ini, meskipun memiliki berat antara 45-70 ton, tapi tetap mampu “ngebut” dengan akselerasi tinggi bila diperlukan sewaktu-waktu.

***

Untuk hasil karya anak bangsa Indonesia, APC beroda ban sudah bisa diproduksi di dalam negeri yakni “panser” Anoa 6×6 buatan PINDAD yang mengambil basis pengembangan dari panser VAB 4×4 buatan Perancis yang telah digunakan TNI sebelumnya. Namun, biarpun Anoa bisa dipersenjatai dengan senapan mesin berat kaliber 12,7mm dan bahkan peluncur granat 40mm, hal itu tidaklah mengubah fungsi utamanya sebagai angkut pasukan yang sejatinya bukan untuk mendukung gerak maju pasukan langsung di garis depan. Purwarupa/prototipe kendaraan tempur beroda rantai buatan PINDAD yang gambarnya muncul baru-baru ini masih masuk dalam kategori APC karena memang dimaksudkan untuk angkut personil. Dalam hal IFV, PINDAD tengah mengembangkan kendaraan tempur jenis IFV beroda ban yang dilengkapi dengan kanon otomatis kaliber 20mm dan versi lainnya yang dilengkapi dengan meriam 90mm dengan turret buatan Cockerill yang bila nantinya diproduksi akan menjadi kekuatan pendukung gerak maju infantri TNI yang ampuh. Jadi bisa dikatakan dengan bangga bahwa untuk produk APC dan IFV, kita telah memiliki kemampuan untuk merancang bangun dan memproduksinya di dalam negeri sendiri.

Akan tetapi, PINDAD, sebagai industri dalam negeri yang telah menghasilkan APC dan IFV beroda ban serta purwarupa APC beroda rantai, masih belum memiliki kemampuan untuk memproduksi MBT. Muatan teknologi tinggi yang jauh lebih banyak dalam sebuah MBT belum dapat dibandingkan dengan apa yang telah bisa diupayakan di dalam negeri sekarang ini. Sebut saja lapis baja komposit yang didesain mampu menahan gempuran roket dan rudal anti tank dan juga memiliki daya tahan tinggi terhadap proyektil penembus lapis baja yang ditembakkan dari laras meriam sekaliber 120-125mm. Teknologi lapis baja ini, dan “ramuan” di dalamnya adalah “top secret” dari setiap negara-negara yang sudah mampu membuatnya sehingga mau tidak mau bila kita ingin membuat MBT sendiri, kita harus bisa membuat lapisan baja dengan kualitas setara dengan yang dimiliki oleh negara-negara lain terlebih dahulu.

Lalu PINDAD juga belum memiliki pengalaman memproduksi meriam kaliber 120-125mm yang mampu menghasilkan “muzzle velocity” tinggi, selain juga keterbatasan material tungsten di negeri ini sebagai bahan baku untuk memproduksi amunisi “Kinetic Energy Penetrator” Armor Penetrating, Fin Stabilized, Discarding Sabot (atau disingkat dengan APFSDS) yang menjadi “taring” utama MBT-MBT modern dalam menghadapi MBT-MBT lainnya.

Lebih lanjut, industri dalam negeri masih belum bisa menghasilkan mesin diesel nasional berkekuatan 1500-2000hp (horsepower/daya kuda) sebagai tenaga penggerak MBT serta masih belum dikuasainya teknologi transmisi dan suspensi untuk menggerakkan dan menyokong beban sebuah MBT. Ini belum menyebutkan tentang sejauh mana kemampuan industri optik dan elektronika dalam negeri untuk menghasilkan komputer pengendalian penembakan (Fire Control System), sistem pencarian dan penjejakan target (Sighting System), giro stabilisator (Gyro Stabilizer) agar meriam bisa tetap stabil ditembakkan sewaktu kendaraan berjalan, sistem tindak balas (Counter Measure) serta proteksi aktif (Active Protection System) dan lain sebagainya.

Jadi tidak serta merta “tinggal menambah lapis baja yang lebih tebal dan memberi meriam kaliber besar pada prototip tank (APC beroda rantai) PINDAD” maka jadilah MBT nasional! Opini semacam ini hanya menyesatkan semua pihak terutama mereka-mereka yang awam dalam bidang persenjataan dan kemiliteran.

***

I.b. Kesimpulan mengenai jenis-jenis kendaraan tempur

Kesimpulan yang bisa diambil disini adalah:

a. APC - adalah kendaraan militer berlapis baja (armored) yang berfungsi buat mengangkut pasukan.
b. IFV - adalah kendaraan tempur lapis baja untuk bantuan tembakan infantri.
c. MBT - adalah kendaraan tempur lapis baja beroda rantai yang di desain untuk menerobos garis pertahanan lawan, menahan gempuran dan melawan MBT musuh. Untuk fungsi defensif, MBT juga bisa digunakan sebagai “benteng bergerak” untuk melindungi garis depan atau gerak mundur pasukan.

Lalu ada satu catatan penting mengenai kemampuan strategis dalam negeri dimana kemampuan yang ada sekarang ini masih belum cukup untuk menghasilkan MBT nasional. Baik dari segi penguasaan teknologi material yang digunakan, permesinan, persenjataan dan komputer/elektronik serta optik seperti yang telah diuraikan diatas. Berangkat dari pengalaman membuat APC dan IFV dari basis VAB 4×4, maka akuisisi MBT dari luar negeri memiliki nilai strategis yang tidak hanya digunakan untuk menambah kekuatan TNI-AD, tapi juga sebagai “buku pelajaran” yang sangat bernilai yang akan dipelajari oleh pihak-pihak terkait yang pada akhirnya di kemudian hari akan membantu industri-industri strategis nasional untuk merancang bangun dan membuat MBT sendiri.

***

II. (Salah kaprah) pengelompokan jenis-jenis tank.

Kemudian timbul lagi suara-suara yang memperkarakan berat tank yang ingin dibeli oleh TNI dan menganjurkan agar TNI menggunakan “tank medium” karena dinilai lebih cocok untuk di Indonesia. Ironisnya, mereka-mereka yang bersuara lantang seperti itu mungkin tidak mengetahui konsep sebenarnya mengenai tank dan bahkan pembagiannya menurut berat yang tidak lagi dipakai - atau setidaknya tidak lagi diikuti seluruhnya - di masa sekarang ini. Di bagian ini akan dibahas mengenai perkembangan kategori-kategori tank modern mulai dari masa Perang Dunia II.

II.a. Pembagian berdasarkan berat

Di masa Perang Dunia kedua (PDII - 1939 s/d 1945) dikenal pembagian tank berdasakan beratnya:

1. Tank Ringan.

Tank ringan pada masa PDII, difungsikan sebagai kendaraan intai taktis dan/atau sebagai bantuan tembakan untuk mendukung gerak maju infantri (seperti konsep IFV sekarang). Dalam masa awal-awal PDII dengan serangan kilat (Blitzkrieg) Jerman yang menginvasi negara-negara Eropa, tank-tank ringan juga digunakan sebagai ujung tombak penyerangan, menembus garis depan musuh dan memporak-porandakan jalur logistiknya. Dengan didukung oleh kekuatan udara yang menyediakan “payung udara” serta membombardir titik-titik strategis kekuatan lawan, taktik serangan kilat ini bak air bah yang menggulung musuh dan memaksa mereka untuk mundur atau menyerah.

Tank-tank ringan dimasa ini memiliki karakteristik bobot yang relatif ringan (antara 5 hingga sekitar 20 ton) dan ukuran yang kecil, lapis baja yang tipis dan dipersenjatai dengan persenjataan ringan mulai dari senapan mesin dan/atau kanon otomatis berkaliber antara 7,62mm hingga 12,7mm (senapan mesin) atau 20-37mm (kanon otomatis) seperti terlihat pada M2 Stuart diatas. Bila dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya, tank jenis ini memiliki kemampuan mobilitas tertinggi namun dengan daya gempur dan proteksi yang paling rendah. Dua hal yang terakhir ini yang menjadikan kegunaannya dibatasi menjadi kendaraan intai taktis khususnya pada masa pertengahan dan akhir PDII dan setelahnya.

2. Tank Medium.

Tank medium memiliki mobilitas yang relatif lebih rendah dibanding tank ringan, namun memiliki proteksi yang lebih baik dan juga daya gempur yang lebih tinggi karena dilengkapi dengan persenjataan meriam berkaliber antara 50 hingga 76mm. Tank medium di masa-masa pertengahan hingga akhir PDII memegang peranan penting dalam peperangan darat karena tank-tank jenis inilah yang paling banyak diproduksi dari kedua belah pihak (Sekutu dan Axis). Pemberian lapis baja yang lebih tebal yang dimaksudkan untuk menahan gempuran senjata tank-tank sejenis, menjadikan tank jenis ini mempunyai bobot antara 20 hingga 40 ton.

Sesuai dengan perkembangan medan di masa itu, mobilitas yang dirasa cukup dengan dibekali daya hantam dan proteksi yang memadai menjadikan tank-tank medium sebagai andalan utama negara-negara yang bertikai, baik untuk penyerangan maupun untuk bertahan. Tank T-34 buatan Rusia seperti yang terlihat diatas, merupakan salah satu contoh yang paling banyak diproduksi hingga beberapa tahun setelah usainya PDII.

3. Tank Berat dan Tank Super Berat.

Di masa ini juga dikenal tipe tank berat yang diproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit. Tank jenis ini, dengan bobot antara 40 ton hingga 70 ton, awalnya dimaksudkan sebagai pendobrak pertahanan lawan yang dikeraskan (hardened) seperti untuk menerobos rintangan anti tank dari beton dan juga perbentengan (pillbox dan bunker). Selain itu dengan senjata utamanya berupa meriam berkaliber 88mm hingga 122mm, tank-tank jenis ini mampu melumat segala jenis tank-tank lain hingga dibutuhkan tank-tank sejenisnya untuk mampu mengimbanginya. Namun ternyata tank jenis ini ternyata lebih banyak digunakan sebagai benteng bergerak (Jerman di akhir PDII) maupun sebagai bantuan tembakan langsung berkaliber besar (Uni Soviet, juga di masa akhir PDII sewaktu menerobos garis pertahanan Jerman).

Dengan proteksi lapis baja yang paling tebal, dalam perang tank lawan tank, hanya meriam-meriam kaliber besar yang dibawa tank-tank sejenisnyalah yang bisa mengalahkannya. Tapi proteksi yang sedemikian baik harus dibayar dengan bobotnya yang menjadi semakin berat yang pada akhirnya mengurangi kemampuan mobilitasnya secara drastis. Tak jarang, tank-tank berat seperti Tiger II buatan Jerman (seperti pada gambar diatas) di masa akhir PDII mengalami kerusakan mesin dan suspensi di lapangan yang akhirnya memaksa awaknya untuk meninggalkan dan menghancurkan tank-tank mereka sendiri agar tidak ditangkap dan digunakan musuh. Hal ini bisa dipahami mengingat menjelang masa-masa akhir perang tersebut, kemampuan industri manufaktur Jerman berada di titik paling rendah karena banyak pabrik-pabrik dan laboratorium-laboratorium pengembangan mereka yang sudah dihancurkan oleh pengeboman udara sekutu yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan mereka untuk menghasilkan mesin dan suspensi yang cukup baik dan kuat untuk digunakan dalam tank-tank berat tersebut.

Patut disebutkan disini, bahwa tank-tank berat yang dipakai dalam masa ini juga diproduksi dan dipakai oleh negara-negara lain seperti Uni Soviet dengan KV-1/KV-2 dan IS-2, M-26 Pershing dari Amerika Serikat, dan Churchill Tank buatan Inggris.

Selain dari tank berat, ada satu kategori terakhir yang disebut sebagai tank super berat:

Tank jenis ini dengan bobot diatas 70 ton, dirancang untuk menahan tembakan tank-tank berat dan pendobrak serangan musuh. Namun karena bobotnya yang luar biasa berat (dalam kasus prototip tank Jerman Maus seperti gambar diatas, mencapai 188 ton!) bahkan dengan mesin terkuat yang ada saat itu, kecepatan maksimum yang bisa dicapai waktu pengujiannya hanya mencapai 13 km/jam. Keterbatasan inilah ditambah dengan kelemahan-kelemahan lainnya seperti kerusakan mesin yang kerap terjadi selain dengan faktor penentu mahalnya biaya produksi satu tank jenis ini, membuat tank jenis ini tidak begitu diminati oleh negara-negara lain dan bahkan pengembangannya sama sekali ditinggalkan setelah kemunculan konsep Main Battle Tank yang akan dibahas belakangan.

II.b. Tank Destroyer

Disamping semua itu, ada satu kategori lain yang dinamakan dengan “Tank Destroyer“. Kendaraan lapis baja jenis ini, memiliki perlindungan lapis baja yang biasanya lebih rendah dibanding tank medium, namun dipersenjatai dengan meriam kaliber besar. Konsep tank destroyer dimaksudkan untuk menghancurkan tank-tank lawan dengan mengandalkan kecepatan gerak dan daya hantam meriam kaliber besarnya dan tidak ditujukan untuk memberi bantuan tembakan untuk mendukung gerak maju infantri.

Karena proteksinya yang lebih tipis dibandingkan tank-tank medium, maka tank destroyer tidak diharapkan untuk mampu bertempur langsung satu lawan satu dengan tank lawan. Karena itulah taktik yang digunakan biasanya berupa “ambush” dengan senantiasa bergerak dan bersembunyi yang sangat tergantung dari kondisi medan di sekitarnya.

Di masa perang dingin setelah PDII hingga pertengahan 1990-an, konsep tank destroyer tidak begitu diminati karena perannya telah diambil alih oleh tank-tank jenis MBT. Meskipun demikian, di akhir tahun 1990-an, konsep tank destroyer mulai diperkenalkan kembali dan berevolusi dalam bentuk CV90120-T buatan Swedia. Kedua hal tersebut akan dibahas dibawah ini.

***

III. Kategori Tank Modern.

III.a Tank Ringan/Intai dan Main Battle Tank.

Dalam dasawarsa 1950 dan 1960-an, konsep pembagian tank secara “klasik” seperti dijelaskan diatas mulai ditinggalkan seiring kelahiran konsep “Main Battle Tank (MBT)” atau bila di-Indonesiakan menjadi “Tank Tempur Utama”. Konsep ini mengadopsi kemampuan mobilitas dan proteksi tank medium era PDII, digabungkan dengan meriam dengan kaliber besar yang dipakai di tank-tank berat masa itu. Konsep “tank ringan” di masa PDII tetap dipakai namun berubah fungsi menjadi kendaraan intai taktis. Tank ringan di masa sekarang sebenarnya tidak ditujukan sebagai kekuatan serang/pemukul dan bukan untuk menghadapi tank lawan karena perlindungan lapis bajanya yang tergolong ringan yang tak akan mampu bertahan terhadap gempuran senjata anti-tank atau meriam kaliber besar. Oleh karena itu untuk fungsi yang terakhir inilah konsep MBT diciptakan.

Dengan kata lain, dari beberapa kategori tank di era PDII, hanya tank ringan dan tank mediumlah yang berevolusi menjadi tank intai dan tank tempur utama (MBT) di masa sekarang. Jadi, opini-opini yang mengatakan bahwa TNI lebih baik diperlengkapi dengan “tank medium” bila diterjemahkan ke dalam kategori tank modern adalah sama halnya dengan Main Battle Tank, yang juga merupakan apa yang tengah diupayakan oleh jajaran panglima-panglima TNI.

Namun kemudian yang dipermasalahkan adalah berat MBT yang dinilai terlalu tinggi untuk medan disini dengan tidak mengacuhkan contoh-contoh seperti di negara-negara ASEAN lainnya. Seperti tank Leopard 2A4 yang digunakan oleh angkatan darat Singapura, PT-91 yang digunakan di Malaysia, M60A3 di Thailand, dan T-72 serta T-62 yang dipakai di Vietnam serta Myanmar. Bahkan Kamboja pun memiliki divisi lapis baja yang diperkuat dengan tank tempur utama T-55 buatan Uni Soviet. Menurut hemat mereka, hanya tank-tank dengan bobot sekitar 20 hingga 30an ton-lah yang layak dipakai disini, yang sekali lagi menunjukkan betapa opini tersebut seolah-olah mengindikasikan bahwa merekalah yang paling tahu mengenai kondisi medan dan taktik penggelaran tank dibandingkan TNI yang akan langsung menggunakannya sendiri.

III.b “Tank Medium” menurut para “pakar”

Tapi untuk berusaha melihat dengan lebih berimbang, mari kita lihat seperti apa sebagian contoh-contoh tank tempur dengan bobot maksimum hingga sekitar 30 ton, seperti yang diindikasikan oleh para “pakar” sebagai yang paling cocok untuk di Indonesia:

1. AMX-30

Tank ini dirancang tahun 1963 dan masuk ke dalam dinas aktif mulai tahun 1966 hingga sekarang. Berbobot 36 ton, dan di desain dengan sengaja mengorbankan proteksi untuk mendapatkan mobilitas tinggi. Jadi lapisan baja tank jenis ini tidak diharapkan untuk dapat bertahan menghadapi gempuran senjata-senjata anti tank baik itu berupa peluru kendali anti tank maupun proyektil meriam tank modern. Selain itu, teknologinya yang tergolong tua untuk ukuran sekarang juga tidak akan mampu menjawab tantangan perang modern yang akan dihadapi TNI di masa depan secara optimal.

2. T-54/55

Inilah salah satu tank tempur utama generasi pertama yang dirancang di Uni Soviet di tahun 1945. Mulai berdinas aktif di tahun 1950, tank berbobot 36 ton ini masih digunakan di beberapa negara. Selain itu, tank ini juga diproduksi di RRC dengan sebutan Type-59 dengan hasil yang mengecewakan sewaktu digunakan oleh tentara Irak dalam menghadapi serbuan lapis baja koalisi dalam Perang Teluk I di tahun 1991 lalu. Umur dan teknologinya yang cukup tua menempatkan tank ini satu generasi dengan tank AMX-13 yang dipakai TNI sejak tahun 1950-an atau awal 1960-an. Sama halnya dengan AMX-30 sebelumnya, teknologi yang dimiliki tank ini, tidak bisa diharapkan untuk bisa menjawab tantangan perang modern yang akan dihadapi TNI-AD ke depannya.

3. CV90120-T dan WPB Anders

CV90120-T adalah versi pengembangan dari IFV CV90 produksi Swedia. CV90 sendiri mulai memasuki dinas aktif di tahun 1993 namun versi dengan meriam 120mm baru diperkenalkan di tahun 1998. Paduan bobot yang relatif ringan (35 ton) dengan daya gempur meriam kaliber 120mm, mengingatkan akan konsep “Tank Destroyer” yang dipakai di Perang Dunia II. Namun sampai sejauh ini, masih belum diketahui apakah versi dengan meriam kaliber besar ini telah memasuki dinas aktif di negara pembuatnya dan/atau di negara-negara lain.

Karena dikembangkan dari IFV, dan karena fungsinya yang diutamakan sebagai pendukung gerak maju infantri, maka tank ini digolongkan ke dalam “Tank Ringan” dan biarpun dipersenjatai dengan meriam sekaliber meriam MBT, tetap tidak dimaksudkan untuk berhadap-hadapan beradu tembak langsung dengan MBT-MBT lain yang lebih berat karena lapisan baja yang dimiliki CV90120-T tidak didesain untuk mampu bertahan menghadapi gempuran meriam sekaliber itu.

WPB Anders buatan Polandia, yang menurut sebagian kalangan mengambil basis pengembangan dari IFV CV90 (yang juga dibeli oleh Polandia), memiliki berat 35ton dan dipersenjatai dengan meriam 120mm yang juga sama dengan yang dipakai di CV90120-T. Diperkenalkan di tahun 2010, Anders direncanakan akan mengganti IFV BMP-1 dalam inventaris persenjataan angkatan darat Polandia. Mengingat bentuk, senjata dan bobot yang serupa dengan CV90120-T, bisa diasumsikan bahwa penggelaran di lapangan dan keterbatasannya pun akan menyerupai dengan tank tersebut.

Selain dari beberapa contoh diatas, masih ada lagi Stingray, tank ringan berbobot 22,6 ton produksi Amerika yang hanya digunakan oleh Thailand (yang juga mengoperasikan MBT M60A3) dan TAM produksi gabungan Argentina-Jerman yang hanya digunakan oleh Argentina dengan mengambil basis dari IFV Marder buatan Jerman, disamping contoh-contoh lain yang tidak disebutkan disini.

III.c Realita penggelaran MBT

Bisa dilihat diatas, tank-tank “medium” - dengan pengecualian AMX-30 dan T-55 - seperti pendapat para “pakar” adalah apa yang dikategorikan sebagai “tank ringan”. Tank tempur utama dengan bobot yang diidealkan oleh para “pakar” dan “pengamat” tersebut hanya ada di generasi awal keluaran tahun 50 dan 60an yang kandungan teknologinya sudah terlalu tua untuk bisa menjawab tantangan perang modern. Dari penjelasan diatas juga bisa dilihat bahwa rata-rata negara yang mengoperasikan tank-tank ringan, memposisikan tank-tank ringan tersebut sebagai komponen pendukung atau suplemen Main Battle Tank (MBT) yang juga mereka gunakan dan bukan sebagai komponen utama sebagai ujung tombak penyerangan dan pertahanan.

Mengenai bobot MBT Leopard 2A6 yang dinilai terlalu tinggi untuk medan dan jalanan di Indonesia, kita bisa menyikapinya dengan kritis. Dengan mengambil acuan satuan tekanan permukaan tanah (ground pressure) dari kendaraan berbobot puluhan ton yang disebar merata oleh permukaan tapak jejak (track)-nya, tank tempur utama memiliki tekanan permukaan tanah sebesar 14-15 psi yang setara atau bahkan lebih ringan dibanding tekanan permukaan tanah dari orang yang berlari (16 psi), seperti yang dapat dibaca dari sumber ini dan ini. Menarik untuk dicermati bahwa artikel wikipedia mengenai ground pressure ini mengambil contoh tank M1 Abrams yang lebih berat dibanding Leopard 2 (67-70 ton vs 62 ton). Dari sini bisa dinilai bahwa penilaian mengenai tank Leopard 2 yang berbobot terlampau besar untuk Indonesia adalah sebuah kekhawatiran tak berdasar dan menjadi sebuah mitos yang selalu diulang-ulang.

Mitos ini mungkin timbul sebagai pembenaran akan rencana pembelian MBT Challenger dari Inggris oleh TNI di dasawarsa awal hingga pertengahan 90-an, yang kemudian ternyata berbuah tank ringan Scorpion. Menurut sebagian kalangan, dikatakan bahwa tank Scorpion yang akhirnya dimiliki oleh TNI-AD dibeli dengan mengeluarkan dana seharga Challenger - yang bila memang benar adanya, merupakan hal yang lumrah terjadi pada masa-masa itu.

Lalu mengenai kondisi alam Indonesia yang berhutan lebat dan berbukit serta bergunung-gunung, wilayah Indonesia yang masih berhutan lebat ada di sebagian Sumatra, Kalimantan dan Papua. Untuk Papua, penggelaran MBT mungkin memang hanya terbatasi pada daerah perkotaan atau daerah terbuka di pesisir. Tapi untuk daerah-daerah lain, dataran Riau dan juga hamparan kebun sawit di Kalimantan hanyalah dua contoh dari sekian banyak tempat dimana MBT tidak akan menemui kesulitan berarti untuk bermanuver. Lalu bila argumennya dikaitkan dengan kondisi perbukitan di sebagian wilayah Indonesia lainnya, medan berbukit justru bisa dimanfaatkan menjadi “Force Multiplier” dengan menerapkan taktik seperti Hull Down dan “Hit and Run” yang memanfaatkan kondisi geografis yang ada disekitarnya.

Disini terlihat bahwa mereka yang menjadikan kondisi geografis Indonesia sebagai alasan untuk tidak membeli MBT adalah mereka yang memandang kondisi geografis Indonesia sebagai sebuah penghalang dan bukan sebuah peluang untuk mengadopsi, mengembangkan dan menerapkan taktik peperangan MBT yang cocok buat Indonesia.

Kemudian kita mendapati alasan lain yang dikemukakan mengenai kecilnya kemungkinan Indonesia akan diinvasi oleh kekuatan negara asing. Untuk ini, seberapapun kecilnya kemungkinan tersebut, bukankah lebih baik bila TNI kita memiliki kemampuan untuk mengatasi segala ancaman yang mungkin timbul? Serangan tank-tank negara asing memasuki wilayah Indonesia tidak hanya akan masuk melalui perbatasan-perbatasan darat seperti di Kalimantan. Tapi pendaratan amfibi musuh yang mengerahkan MBT di sepanjang garis pantai Indonesia bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kemampuan tersebut. Tanpa kekuatan penangkal yang memadai, dalam kondisi terburuknya, pendaratan amfibi musuh di Banten dan di Cirebon akan dengan mudah menusuk langsung ke ibukota. Lalu bilamana itu terjadi berapa ribu nyawa prajurit TNI yang akan melayang sia-sia karena tidak diberikan kekuatan tempur yang mampu menahan gempuran MBT musuh?

Indonesia sendiri pernah mengalami pendaratan amfibi besar-besaran sewaktu masih bernama Hindia Belanda di tahun 1942, ketika tentara Jepang mendarat di Bangka, Palembang, Tarakan, Balikpapan, Eretan Wetan, Teluk Banten serta Merak dan beberapa tempat-tempat lain di Nusantara dan walaupun pada masa itu Jepang hanya membawa tank ringan, hal ini tidak bisa dijadikan indikasi mengenai cocok atau tidaknya tank yang berbobot lebih berat untuk dibawa disini melainkan menunjukkan doktrin bala tentara Jepang yang masih bertumpu kepada serbuan infantri secara massal.

IV. Penutup

Fakta bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang menjadikannya sulit untuk diduduki bukan suatu alasan untuk menjadikan kita “complacent” atau menganggap bahwa invasi adalah suatu hal yang hampir mustahil, seperti pendapat yang menyatakan bahwa serangan langsung lewat darat dari perbatasan utara di Kalimantan adalah suatu hal yang tak akan bisa dilakukan oleh negara asing. “Perang adalah tipudaya” menurut sabda baginda Rasul S.A.W., dan tipudaya termutakhir dari kekuatan musuh adalah mengeksploitasi hal-hal yang dianggap mustahil dilakukan oleh pihak yang diserang. Lagipula, dengan bantuan teknologi tinggi berupa satelit militer negara asing yang bersangkutan yang telah memetakan medan Indonesia, bukanlah satu hal yang sulit untuk merancang pendadakan menerobos hutan dan perbukitan yang selama ini dianggap tidak bisa ditembus oleh mereka-mereka yang abai mengenainya.

“Si vis pacem, para bellum”. Berharap damai, bersiaga perang. Adalah ungkapan yang jamak digunakan dimana kekuatan militer yang memadai akan menjamin negara-negara lain untuk menghormati dan menyegani negara yang bersangkutan serta tidak berupaya untuk melakukan penyerangan. Kita boleh memandang negara-negara di sekeliling kita sebagai “tetangga” dan “kawan” tapi itu bukan berarti kita membiarkan opini-opini yang memandang rencana modernisasi dan penguatan TNI sebagai suatu hal yang berlebihan menjadi kian bergaung yang pada akhirnya bisa mempengaruhi para pengambil keputusan di negara ini, apalagi bila pendapat-pendapat itu datang dari kalangan-kalangan yang tidak memiliki pengetahuan mengenai militer dan hanya berdasarkan pada kepentingan mereka semata.

Bila pendapat-pendapat semacam itu datang dari para purnawirawan, kita tetap harus mencermati dan menyikapinya dengan kritis. Perkembangan teknologi militer, taktik dan strategi perang yang selalu dinamis, harus diikuti dan bahkan diantisipasi dengan dinamis pula. Dan kenyataan di lapangan yang ada di masa para purnawirawan itu masih berdinas aktif, tidak lantas menjadikannya sama dengan kenyataan lapangan sekarang ini apalagi yang akan dihadapi di kemudian hari. Untuk menghadapi dan mengantisipasi hal inilah terletak urgensi memperkuat TNI-AD dengan kekuatan pemukul modern yang salah satu bentuknya berupa Main Battle Tank, selain program-program modernisasi yang juga tengah dijalankan oleh TNI-AU dan TNI-AL dengan akuisisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) modern yang dibutuhkan oleh masing-masing angkatan tersebut.

Terakhir, walaupun bukan yang paling akhir, dalam hal pengadaan MBT untuk menunjang kemandirian alutsista nasional, pengadaan MBT tentunya akan membuka kesempatan bagi industri-industri strategis nasional untuk bisa menelaah, membedah dan mempelajari teknologi-teknologi yang dikandung di dalamnya. Hal ini berlawanan dengan opini yang menyatakan bahwa pembelian MBT dari luar hanya akan mematikan kreasi anak negeri, karena tanpa adanya akuisisi seperti ini, tuntutan akan dipakainya produk (MBT) dalam negeri seperti digemakan oleh beberapa kalangan hanya akan menjadi sebuah omong kosong yang tidak realistis. Berikanlah kesempatan bagi ahli-ahli Indonesia untuk belajar dengan memberikan “buku” pelajaran dan “bahan praktek” langsung, dan dalam jangka waktu 10-20 tahun kedepan kita akan melihat karya-karya anak bangsa yang akan semakin membanggakan kita semua.

Salam, dan terima kasih.

Kredit foto:
http://www.military-today.com/apc/m113.htm
http://en.rian.ru/mlitary_news/20101104/161205707.html
http://fprado.com/armorsite/leo2.htm
audryliahepburn @ http://www.kaskus.us/showthread.php?t=12088836
http://www.panzernet.net/panzernet/stranky/tanky/pz7.php
Wikipedia.

Sumber : Kompasiana

0 comments:

Post a Comment