Friday, April 13, 2012

Mencermati Rivalitas AS-China di Asia (1)

Headline
IST
Oleh: Herdi Sahrasad

INILAH.COM, Berkeley - Kebijakan Amerika Serikat di Asia sangat diwarnai dengan faktor China. Rivalitas kedua negara ini terus menguat dan berdampak besar bagi negara-negara di kawasan.

China meningkatkan kekuatan militernya di Asia, dengan menaikkan budget pertahanan tahun ini US$160 miliar, sebuah angka yang luar biasa besar. Angka itu melonjak 12 persen dari anggaran tahun lalu.

Meski statemen para pemimpin Beijing menegaskan kebangkitan China tetap pro-perdamaian, namun meningkatnya anggaran militer menjadi ganjalan dan persoalan bagi AS dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik.

The Economist edisi 7-13 April 2012 menyebut kebangkitan militer RRC itu sebagai ''gigi baru naga merah'' di Asia. Di kawasan Asia, RRC menghadapi konflik potensial dengan Vietnam dan Filipina di Laut China Selatan terkait Kepulauan Spratley, memburuknya hubungan dengan Jepang dan hubungan dengan Korea Selatan yang mendingin.

Juga kematian tak terduga pemimpin Korea Utara Kim Jong-il dan yang paling merusak dari semua itu adalah Arab Spring dan dampaknya yang mungkin menular ke China jika ekonominya merosot.

China membantu program nuklir Pakistan dan itu menimbulkan ketegangan dengan India, tetangga besarnya di Asia. Sementara program nuklir Korea Utara dan Iran menjadi kecemasan banyak pihak di AS maupun di Asia dan Timur Tengah, termasuk Israel dan Arab Saudi.

“Semua itu membuat AS harus waspada dengan perkembangan di Asia yang membentang dari kawasan Arab sampai Timur Jauh di Asia Pasifik. Saya sendiri cemas,” kata akademisi dan mantan Dubes keliling AS Prof Robert Gallucci di Universitas California Berkeley awal pekan ini.

Akademisi Harvard Joseph Nye melihat, sejauh ini konsentrasi baru AS di kawasan Asia-Pasifik adalah mengekspos defisit China dalam hal soft power (kekuatan lunak dan persuasi), sebab Beijing lebih sering mengandalkan kekuatan keras (tekanan politik/militer) atas tetangganya di Asia.

Keuntungan China dalam kekuatan keras (ekonomi-politik dan militer), dipercaya Nye, telah menyebabkan kecemasan besar dan ketidakamanan para tetangga Beijing di Asia. Pada akhirnya negara-negara itu terpaksa mencari aliansi dengan Amerika Serikat dalam usaha untuk menyeimbangkan naiknya kekuatan keras China.

China diperkirakan akan menjadi pemimpin Asia ke depan berpeluang menggantikan peran AS yang mengalami kemunduran sebagai pemimpin regional di Asia Pasifik. Negara-negara Asia Timur tidak gembira dan tidak suka dengan kebangkitan China di luar negeri, menggantikan peran AS.

Korsel dan Jepang sudah bersikap semacam itu dan mengisyaratkan kecemasannya, sikap Vietnam, dan Indonesia serta Negara Asia Tenggara lainnya serupa meski tak sama.

Setidaknya, RRC sebagai pemimpin politik dan militer regional sudah membuat cemas dan khawatir negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur, bukan hanya karena kekuatan ekonomi China yang menakutkan, tapi juga pembangunan militernya. Dalam bersaing dengan AS, militer China dengan jelas meningkatkan kekuatannya di Asia.

Ada ketidakpercayaan yang merata di Asia Timur dan Tenggara atas RRC yang punya ambisi regional. Sehingga kawasan Asia ini menilai penting kehadiran militer AS sebagai penjaga stabilitas regional. Kasus Kepulauan Spratley tetap meyakinkan Asia Timur dan Tenggara tentang pentingnya payung keamanan dari AS. Jepang dan Korsel sudah meminta payung perlindungan AS menghadapi manuver militer RRC.

Dengan langkah RRC sebagai kekuatan besar di Asia, ada perasaan tidak nyaman dari Jepang dan Korsel serta negara-negara di Asia Tenggara. AS diharapkan mampu menjadi counter balance force atas naiknya penampilan militer China dan ekonomi Beijing di kawasan ini.

Bagaimanapun ‘power game’ akan berkembang di Asia dan untuk itu, kehadiran AS sebagai balance of power, meminjam perspektif Hans Morgentau (sang teoritisi realis dalam hubungan internasional), sangat dibutuhkan negara-negara di Asia untuk membatasi ruang gerak militer China

Presiden Obama Februari lalu menekankan bahwa AS menempatkan sebuah fokus baru atas wilayah tersebut. Obama sudah mengumumkan strategi militer baru yang akan fokus pada Asia. Perubahan kebijakan yang jelas menargetkan China.

AS sangat berkepentingan dengan Asia, terutama Selat Malaka. Selat Malaka selama ini tidak saja dikenal sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication(SLOC), juga dipandang sebagai jalur strategis proyeksi Armada Laut negara-negara maritime besar dalam rangka forward presence dan global engagement ke seluruh dunia.

Kepadatan lalu-lintas alur pelayaran ini ditandai tingginya intensitas perdagangan global Selat Malaka, dan apabila terjadi interdiksi atas perairan ini, maka dampak negatif luar biasa yang akan dirasakan secara global adalah instabilitas perekonomian dunia.

Bisa dimengerti memang mengingat selama ini seluruh kegiatan eskpor dan impor internasional mengandalkan laut sebagai jalan raya/jalur perdagangan, sumber makanan, dan sumber mineral. Maka dari itu, bagi Amerika maupun Jepang dan China, sebagaimana yang juga diutarakan Mantan Menhan Juwono Sudarsono, Selat Malaka sebagai SLOT dan SLOC dewasa ini sudah dianggap sebagai ajang kepentingan setiap negara di dunia yang harus diamankan.

Betapa tidak. Selat yang melewati tiga negara itu (Indonesia-Malaysia-Singapore), sudah menjadi rahasia umum bahwa tanker-tanker China selalu melintasi Selat Malaka dalam perjalanan mereka membawa minyak dari Timur Tengah.

Karena itu dalam perspektif kepentingan China, selat ini harus aman dari segala gangguan yang bisa menghalanginya untuk mensuplai energi. Sebab itu masuk akal jika Juwono mengundang partisipasi dan inisiatif China dalam pengamanan Selat Malaka. [bersambung]


Sumber : Inilah

0 comments:

Post a Comment