Saturday, April 14, 2012

Mencermati Rivalitas AS-China di Asia (2)

Headline
Xi Jinping dan Barack Obama - IST
Opini: Herdi Sahrasad
INILAH.COM, Berkeley - Dalam pembicaraan antara Wapres Republik Rakyat China, Xi Jinping dan Presiden Barack Obama (14/2/12) di Gedung Putih, Xi mungkin tidak merasa kalau ia berbicara dari posisi yang kuat dengan mengajukan kebijakan luar negeri yang mungkin tak disengaja, bersikap menantang.

Ini menjadi perhatian para akademisi dan analis internasional di AS bahwa kebijakan Beijing makin asertif dan percaya diri, suatu hal yang perlu dicermati lebih dalam oleh Gedung Putih.

China sebagai, sang naga merah, sedang naik daun di Asia, bahkan di dunia. Anggaran militer RRC terus meningkat. Pada 2000, anggaran militer China menghabiskan US$90 miliar dan pada 2010, anggaran itu meningkat 30 miliar dolar AS menjadi US$120 miliar dengan 2,3 juta tentara.

Angkatan daratnya merupakan kekuatan paling besar di dunia. Dan tahun ini anggaran militer Beijing mencapai US$160 miliar, fantastis! Mungkin karena itu, gaya diplomasi Xi Jinping lebih percaya diri, dan rada unjuk gigi.

Xi Jinping, yang merupakan kandidat kuat pengganti Hu Jintao sebagai pemimpin tertinggi PKC (Partai Komunis China) dan rezim komunis China, melihat fokus baru AS terhadap China dan kawasan Asia-Pasific sudah terlanjur rumit. Hal ini seiring dengan peristiwa-peristiwa pada 2011 di seluruh dunia sebagai akibat dari Arab Spring seperti masalah nuklir Iran dan Korut serta krisis finansial global.

Sementara itu, selain masalah China, berbagai kalangan juga mencemaskan pengembangan nuklir di Iran dan Korut karena berdampak pada stabilitas di kawasan Asia. “Saya juga khawatir kompleksitas isu nuklir dan masalah di Asia ini,” kata Pof Robert Gallucci ketika memberi kuliah di Institute of International Studies, Universitas California Berkeley, awal pekan ini.

Presiden Obama sebelumnya menekankan Amerika Serikat adalah satu kekuatan di Asia-Pasifik. Bagaimanapun kawasan ini akan mempunyai peranan dalam penciptaan pekerjaan dan kesempatan bagi rakyat Amerika. AS juga menekankan bahwa setiap pengurangan dalam anggaran pertahanannya tidak akan dilakukan dengan merugikan bagian dunia itu.

Tapi China melihat merosotnya ekonomi AS merupakan peluang untuk memperbesar pengaruhnya di Asia. RRC bereaksi atas pengumuman di Canberra mengenai penempatan pasukan Amerika di Australia, dengan menilai hal itu tidak wajar dan hendaknya dibicarakan dalam masyarakat internasional.

Obama menyatakan kehadiran pasukan Amerika akan memberi kesempatan baru untuk melatih sekutu-sekutu dan mitra-mitranya serta untuk menanggapi berbagai tantangan, termasuk krisis kemanusiaan maupun pertolongan bencana.

Obama secara diplomatis mengatakan Amerika Serikat menyambut baik kebangkitan RRC yang damai dan makmur dan akan mencari kesempatan lagi untuk bekerjasama dengan Beijing, termasuk komunikasi yang lebih besar antara militer satu sama lain guna meningkatkan saling pengertian.

Prof Joseph Nye menyarankan Partai Komunis China (PKC) untuk menarik kembali beberapa kebijakan luar negerinya yang agresif. Setelah krisis keuangan 2008, beberapa pemimpin China melakukan kesalahan dengan berpikir AS berada dalam kemunduran.

“Seperti yang saya tunjukkan dalam buku saya ‘The Future of Power’ itu tidak terjadi, tetapi hal itu mengarah pada kebijakan luar negeri China yang lebih tegas yang terbukti mahal dalam hubungan China dengan negara-negara tetangga dan AS,” ungkap Nye.

Para pemimpin China mulai menyadari hal ini ketika kunjungan Hu Jintao ke AS tahun lalu, dan kunjungan Xi yang meneruskan usaha untuk menyeimbangkan hubungan termasuk unsur-unsur kompetisi dan kerjasama di waktu yang sama.

Para akademisi dan diplomat AS melihat, Asia Pasifik merupakan wilayah yang luas, cukup luas untuk memungkinkan bersama China untuk saling mengisi. RRC ingin AS meninggalkan mentalitas permainan zero-sum, dan Beijing memperingatkan negara-negara Asia Pasifik untuk tidak mengambil “salah satu-atau” sisi antara Amerika Serikat dan China.

Keberhasilan modernisasi ekonomi China memang mengejutkan masyarakat dunia. Namun menurut Dani Rodrik, profesor dari Harvard University's Kennedy School of Government, citra China sebagai raksasa dunia dengan kombinasi ekspor dan strategi diversifikasi ekonomi maupun inovasi institusi, bukanlah gambaran yang tanpa persoalan. Bahkan gambaran itu tidak semuanya indah.

China dan mitra dagangnya, terutama AS, terus saling bersitegang dan berkonflik panjang dalam tahun-tahun terakhir ini yang mencakup keamanan produk, manipulasi mata uang dan pembatasan akses pasar untuk berbagai jenis produk. Ketegangan dan konflik hubungan dagang AS dan China sudah berjalan cukup lama.

Surplus dagang China dengan AS yang berlebihan menciptakan ketimpangan global antara AS dan China. Surplus dagang China meningkat 11 persen dari GDP menyusul krisis finansial di AS dan Eropa pada 2007/2008.

Ketimpangan dan ketidakadilan ini, demikian Dani Rodrik, meningkatkan permintaan global bagi barang barang China dengan harga yang lebih murah sehingga menimbulkan komplikasi bagi recovery ekonomi di seluruh dunia. Hal itu juga mengganggu sektor manufaktur di seluruh dunia, termask China sendiri. Tapi problemnya bukan hanya semata ekonomi.

Secara historis, ketimpangan dagang itu juga menciptakan ‘lahan subur’ bagi proteksionisme. Jika surplus dagang China atas AS, tidak berkurang, maka AS akan membalas dengan membatasi impor dan ini mengundang reaksi balasan dari Beijing serta reaksi yang sama dari negeri lain.

Kelakuan China dengan kekuatan kerasnya (ekonomi dan militer) di Asia Timur dan Tenggara, dipercaya dua akademisi AS yakni Prof Robert Galucci dan Prof Joseph Nye, telah menyebabkan kecemasan dan ketidakamanan para tetangganya, memaksa mereka untuk mencari aliansi dengan Amerika Serikat dalam usaha untuk menyeimbangkan keadaan menyusul meningkatnya kekuatan keras China di Asia. [habis/mdr]


Sumber : Inilah

0 comments:

Post a Comment