Wednesday, April 18, 2012

PT DI Bersiap Jadi Produsen Pesawat Terbesar di Asia Pasifik
Dananjoyo Kusumo / Jurnal Nasional
PT Dirgantara Indonesia akan melakukan produksi bersama pesawat angkut militer ringan jenis C-295 dengan produsen pesawat angkut militer, Airbus Military di Jakarta, Rabu (18/4).


Jurnas.com | PT Dirgantara Indonesia bersiap menjadi produsen pesawat terbang terbesar di kawasan Asia Pasifik. Salah satu langkah mencapai tujuan itu, PT DI telah menggandeng produsen pesawat militer Eropa, Airbus Military untuk memproduksi bersama pesawat-pesawat angkut militer di pabrik PT DI di Bandung, Jawa Barat.

“Mereka (Airbus Military) memberikan pekerjaan pada kami untuk memproduksi tidak saja pesanan sembilan pesawat angkut CASA C-295 dari Pemerintah Indonesia. Namun juga membuat pesawat-pesawat lain seperti CASA C-212 Aviocar dan modernisasi CN-235," kata Direktur Utama PT DI, Budi Santoso saat penandatanganan kontrak kerja sama dengan Airbus Military di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Rabu (18/4). PT DI telah berpengalaman melakukan produksi bersama sejumlah pesawat angkut dan komersial berikut komponennya disamping memproduksi helikopter dengan lisensi industri Barat.

Menurut Budi, dengan adanya kerja sama ini, pihak PT DI secara otomatis melakukan transfer teknologi dari Airbus Military untuk ikut memproduksi pesawat-pesawat milik anak perusahaan Airbus SAS ini. Keuntungan lain yang didapat PT DI adalah, pemasaran pesawat-pesawat angkut militer ringan dan sedang produksi bersama ini akan mencakup seluruh kawasan Asia Pasifik. "Kami masuk pasar Asia Pasifik, dimana produksi pesawat yang dilakukan PT DI dibantu sepenuhnya oleh Airbus Military. Pesawat-pesawat produksi bersama itu nantinya akan langsung dikirim dari Bandung ke negara pemesan," kata Budi menjelaskan.

Adanya kerja sama dan transfer teknologi dengan Airbus Military yang berbasis di Spanyol ini sekaligus sebagai angin segar bagi PT DI yang dulunya bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara. Ini lantaran dalam kurun 20 tahun terakhir industri pesawat terbang yang didirikan oleh begawan industri pesawat terbang kelas dunia, BJ Habibie ini minim pengembangan teknologi.

Semua akibat dari terjadinya krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia pada 1997 dan berimbas pada permintaan penghentian aliran dana pengembangan industri pesawat di negeri ini oleh Dana Moneter Internasional. Ini dilakukan karena IMF memberikan dana talangan untuk mengatasi krisis di era pemerintahan Presiden Soeharto tersebut. IMF menilai, industri pesawat terbang nasional selain padat karya, juga padat modal.

Namun, sebagian kalangan menilai, tindakan IMF ini merupakan wujud dari kekhawatiran pihak Barat terhadap kemajuan industri pesawat terbang nasional. Pasalnya, pada era itu Indonesia merupakan satu-satunya negara di luar kawasan Eropa dan Amerika yang mampu membuat sendiri pesawat terbang dengan teknologi aeronautika terbaik.

Terlebih, ketika badai krisis terjadi, IPTN tengah bersiap memasuki era produksi massal pesawat turboprop N-250 yang mampu mengangkut 70 penumpang dan berteknologi fly by wire atau kokpit autopilot, teknologi canggih yang saat itu hanya dikembangkan di pesawat bermesin jet badan lebar. Pesawat N-250 ini terbang perdana pada 1995 silam.

IPTN pada era itu juga tengah mengembangkan prototipe pesawat pertama bermesin jet, N-2130 yang mampu mengangkut 130 penumpang dan diproduksi di Bandung serta di Seattle, AS. Namun, kedua proyek kontroversial itu redup seiring permintaan IMF yang mematikan industri pesawat terbang nasional. Bahkan pada awal 2000-an, belasan ribu karyawan IPTN diberhentikan karena ketiadaan dana.

Saat ini, diluar mengembangkan produksi pesawat bersama Airbus Military, PT DI juga bersiap memproduksi massal pesawat ringan CN-219 berkapasitas 20 penumpang yang akan mengincar rute penerbangan perintis di Tanah Air. PT DI juga tengah menyelesaikan produksi pesawat CN-235 pesanan sejumlah negara.

Sumber : Jurnas

0 comments:

Post a Comment