Menko Polkam Sudomo (kanan) saat dipotret Menteri Penerangan Harmoko sebelum berlangsungnya Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin di Bina Graha, Jakarta Rabu (4 Oktober 1989). Laksamana TNI (Purn) Sudomo wafat Rabu (16/4) pada usia 86 tahun setelah menjalani perawatan di ICU RS Pondok Indah Jakarta pada pukul 10.05 wib dan akan dimakamkan di TMP Kalibata. (FOTO Arsip ANTARA)

...Maritim jangan you tinggalkan. Cita-cita saya dulu, kapal perang Matjan Tutul bisa dibuat di sini. Itu khan teknologi Jerman...

Jakarta (ANTARA News) - Laksamana TNI (Purnawirawan) Sudomo telah berpulang menemui Sang Khalik, pada pagi hari ini, dalam usia 86 tahun. Dia "seseorang" dalam perjalanan republik ini, dan sempat sangat mewarnai perjalanan politik nasional pada masanya.

Terlahir di Malang, Jawa Timur, pada 20 September 1926, sebagai anak pertama dari lima anak pasangan Martomihardjo dan Soleha. Sudomo satu masa dengan Komodor Laut (Anumerta) Josaphat Soedarso, yang gugur dalam Peristiwa Laut Aru. KRI Matjan Tutul, kapal komando gugus tugas kapal cepat yang dipimpin Soedarso, tenggelam ditembaki pesawat tempur Belanda.

Sudomo sangat terkenang dengan peristiwa yang menewaskan temannya itu. Kelak, berpuluh tahun kemudian, dia mencoba menghidupkan kembali kenangan itu untuk kepentingan nasional. Caranya, merancang dan membangun kapal tipe fast patrol boat layaknya penampilan KRI Matjan Tutul itu.

Bekas kepala staf TNI-AL dan panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (saat itu) tersebut, memanggil Baharuddin Jusuf Habibie, salah satu ikon industri strategis dan teknokrat Indonesia. Habibie adalah gelombang kedua pemuda Indonesia yang dikirim Bung Karno untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi ke luar negeri.

Habibie dapat jatah di Universitas Aachen, Jerman, yang kondang dengan rancang bangun material dan struktur pesawat terbangnya. Dia juga sempat menjadi kepala perancangan dan penelitian-pengembangan Airbus Industrie, yang baru berdiri. Kembali ke Indonesia pada 1973, dia ditugasi menangani teknologi maju PT Pertamina (Persero).

Sebagai awak yang "lahir dan besar" di dunia maritim, Sudomo sangat berkepentingan dengan kemajuan industri dan pertahanan maritim. Indonesia belum maju saat itu, boom minyak juga belum dirasakan. Belum semaju sekarang, namun luas wilayah dan potensi gangguan kedaulatan negara di laut jelas ada di depan mata.

Indonesia perlu arsenal laut yang mumpuni namun terjangkau dari sisi biaya. Caranya: rancang dan buat sendiri... toch ada PT PAL di Surabaya yang bisa mewujudkan hal itu. Tinggal saja menentukan aktor pendorong dan penggerak semua hal itu sampai terwujud benar.

Habibie-pun dipanggil Sudomo. Dengan gaya militernya, Sudomo memasukkan Habibie ke dalam lingkup maritim, satu hal yang tidak dia pelajari di Jerman. "Maritim jangan you tinggalkan. Cita-cita saya dulu, kapal perang Matjan Tutul bisa dibuat di sini. Itu khan teknologi Jerman," kata Sudomo kepada Habibie pada pertemuan mereka itu.

KRI Matjan Tutul dikenal sebagai kapal FPB yang gesit dan andal untuk operasi pencegatan di kawasan littoral. Jika ada indikasi diserang balik, dia bisa segera bersembunyi di balik pulau-pulau kecil. Pokoknya pas dengan keperluan patroli laut terbataslah; toch gangguan di Selat Malaka juga terjadi di perairan seperti itu.

Jika FPB ini banyak dibuat, tipis kemungkinan gangguan itu bisa menjamur seperti pada masa Indonesia sudah lebih maju seperti saat ini.

Di-"todong" laksamana TNI-AL dengan latar belakang intelijen seperti Sudomo, Habibie tidak bisa mengelak. Lewat banyak studi dan perancangan, dia akhirnya memaparkan gambar teknik FPB-57. Dirancang untuk bisa beroperasi dengan kemampuan setara kapal perang buatan Barat, FPB-57 sempat diwacanakan dibuat puluhan kapal.

Sayang... peralihan konstelasi politik dan ekonomi nasional mengubah hal itu. (*)

Editor: Ade Marboen

Sumber : Antara