Thursday, May 17, 2012

RI Tak Sulit Hadapi Malaysia, Asal...
Opini: Derek Manangka
Headline
Hayono Isman - IST


INILAH.COM, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Hayono Isman mengungkapkan bahwa Malaysia masih ngotot untuk merebut pulau Ambalat dari tangan Indonesia.

Tidak dijelaskan apa indikasi tentang adanya keinginan Malaysia tersebut serta kapan niat Malaysia itu dihidupkan lagi. Namun pernyataan anggota parlemen dari Komisi Pertahanan dan Luar Negeri pada Senin 7 Mei 2012 itu cukup mengejutkan sekaligus menyejukkan.

Mengejutkan sebab hal ini berarti Malaysia tetap punya agenda jahat terhadap Indonesia. Padahal sejauh ini sesuai indikasi yang diberikan pemerintah RI, negara tetangga itu sudah tidak punya ambisi lagi merebut salah satu pulau yang dimiliki Indonesia.

Tidak pernah secara jelas dan tuntas memang. Tetapi publik Indonesia, sedemikian rupa sudah dibawa ke pemahaman oleh pemerintahan SBY, bahwa negara tetangga itu, tidak punya niat mencaplok Ambalat. Menyejukkan sebab untuk pertama kalinya, dalam menghadapi klaim kepemilikan pulau oleh Malaysia, ternyata masih ada politisi Partai Demokrat yang berani bersikap.

Menurut Hayono, putera Mas Isman (almarhum), seorang jenderal pendiri Kosgoro sekaligus cikal bakal Partai Golkar, kalau Malaysia masih ngotot untuk merebut Ambalat maka tidak ada pilihan lain bagi Indonesia yaitu harus menghadapinya dengan cara perang.

Makna pernyataan ini dapat ditafsirkan, di kalangan politisi pemerintah saat ini akhirnya lahir kesadaran untuk menjadi bangsa yang tidak ingin martabatnya diinjak-injak oleh Malaysia. Sudah ada pemahaman bahwa mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia dari kemungkinan pengambilalihan oleh pihak asing, merupakan sebuah sikap yang wajib diambil.

Bangsa Indonesia tidak perlu ikut-ikutan menjadi orang penakut manakala berhadapan dengan tetangga yang berperilaku seperti Malaysia. Mengapa persoalan sikap politisi Partai Demokrat ini menjadi sorotan?

Sejauh ini yang membuat bangsa Indonesia bersikap mendua bahkan tidak jelas terhadap Malaysia, akibat dari kebijakan Presiden SBY, petinggi Partai Demokrat. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang nota bene merupakan Panglima Tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI), jelas tidak setuju dengan peperangan, manakala Indonesia harus berhadapan dengan Malaysia.

Pada 31 Agustus 2010, SBY pernah membuat bangsa Indonesia berdebar-debar. Manakala ketegangan politik antara Indonesia dan Malaysia bereskalasi akibat berbagai tindakan tidak bersahabat oleh Kualalumpur, SBY memberi sinyal bahwa ia akan bersikap keras terhadap Malaysia. Rakyat Indonesia pun menanti.

Ada kesan sikap SBY itu, sangat radikal. Agar pernyataan sikapnya itu memiliki bobot perang, maka pernyataan itu disampaikan di forum dimana semua dedengkot TNI tengah berkumpul. SBY pun memilih Mabes TNI Cilangkap, sebagai tempat dimana ia akan mengeluarkan pernyataan politik khusus terhadap Malaysia.

Di hadapan para perwira tinggi baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, Presiden SBY secara eksplisit menegaskan bahwa perang antara Indonesia dan Malaysia harus dihindari. Sebab jika terjadi, akan lebih merugikan pihak Indonesia.

SBY antara lain merujuk pada sejumlah investasi perusahaan Malaysia yang ada di Indonesia. Perusahaan itu akan menarik investasinya dari bumi Nusantara yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan ekonomi dan bisnis Indonesia.

Banyak yang kecewa atas sikap tokoh Partai Demokrat itu. Sebab pernyataan itu telah mematikan semangat nasionalisme dan kebanggaan sebagai warga Indonesia. Tetapi apa mau dikata. SBY merupakan pemegang kunci pintu perang. SBY yang berhak membuka atau menutup pintu perang.

Pernyataan SBY ini tak urung membuat dua seniornya Wiranto dan Endriastono Sutarto (keduanya bekas Panglima TNI) bereaksi secara satire. Bahwa kalau sudah menyangkut masalah harga diri dan kedaulatan bangsa, maka hitung-hitungan ekonomi dan bisnis, sudah tidak masuk dalam kalkulasi lagi.

Yang mengherankan sekalipun SBY sudah dikritik seperti itu, sikapnya terhadap Malaysia, tidak mengendor dalam arti tetap bersahabat secara normal. Bahkan pada 16 Oktober 2011, SBY menerima kunjungan Raja Malaysia. Seakan-akan kedua bangsa tidak punya persoalan. Atau begitulah seharusnya persahabatan kedua bangsa ditata.

Oleh sebab itu sudah sangat sepatutnya apabila pernyataan Hayono Isman, anak buah SBY, tentang ambisi Malaysia tersebut disikapi sekaligus ditindak lanjuti. Momentum yang ada saat ini, menunjukkan perbuatan Malaysia apakah itu oleh warga individu maupun pejabat pemerintah, sudah di luar kepatutan.

Terlalu banyak perbuatan yang tidak menyenangkan oleh warga Malaysia terhadap Indonesia. Sehingga Indonesia tidak boleh diam. SBY boleh tidur nyenyak di Cikeas atau salah satu Istana di Jawa dan Bali. Tapi rakyat Indonesia harus siap berperang seperti Hayono Isman.

Lihat saja bagaimana sikap Malaysia terhadap dua gembong teroris yang pernah mengganggu Indonesia, Dr Azahari dan Noordin M Top. Tidak pernah ada pernyataan maaf atau semacam gesture dari pihak Malaysia. Padahal kegiatan teror dan terorisme yang mereka lakukan, sangat menghancurkan Indonesia.

RI dikesankan dunia sebagai negara yang tidak aman. Sejumlah negara Barat mengeluarkan Travel Warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia. Dampaknya bukan hanya kunjungan wisatawan yang anjlok tetapi minat asing berinvestasi di Indonesia, melorot tajam.

Pertanggung jawaban Malaysia terhadap penembakan 3 TKI asal NTT yang menyebabkan mereka tewas dengan peluru tajam, tidak terdengar sama sekali. Data yang dikumpulkan LSM Migrant Care memperlihatkan, bahwa setiap tahunnya terdapat 700 TKI yang meninggal di Malaysia. Apa penyebabnya, tidak pernah diinvestigasi serta diumumkan baik oleh Kualalumpur maupun Jakarta.

Kedua data dan fakta di atas sebetulnya tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah "ketelodoran" atau "kesalahan manusiawi". Melainkan sudah bisa disebut sebagai bagian dari agenda Malaysia menzolimi Indonesia. Malaysia melakukan Perang Urat Syaraf (psychological war) yaitu nyawa orang Indonesia, tidak punya harga di mata bangsa Malaysia.

Sesungguhnya menghadapi Malaysia, tidaklah sulit. Yang paling penting bangsa Indonesia, mulai dari para penentu kebijakan hingga rakyat jelata, memiliki kesamaan visi. Apa iya 30 juta penduduk Malaysia terlalu besar untuk dihadapi oleh 240 juta rakyat Indonesia?

Dengan adanya 2,5 juta TKI di Malaysia berarti terdapat jutaan "granat-granat tangan" yang bisa diledakkan di seluruh pemukiman Malaysia. Kalau dua teroris Malaysia, Dr. Azhari dan Noordin M.Top bisa mengguncang Indonesia yang berpenduduk 240 juta, lalu mengapa 2,5 juta TKI tidak bisa membikin panik 30 juta penduduk Malaysia? Ironi dan keterlaluan kalau bangsa yang begini besar sudah kehilangan nyali dan jati dirinya. [mdr]


Sumber : Inilah

0 comments:

Post a Comment