Wednesday, May 9, 2012

Pemimpin Amerika Latin Bernyali Tinggi

LA PAZ, KOMPAS.com - Kita sudah paham tentang kritikan-kritikan gencar Presiden Venezuela Hugo Chavez pada dominasi AS di benua Amerika Latin. Juga sudah tak asing lagi penolakan mantan Presiden Brazil, Lula Inacio da Silva pada tatanan dunia yang dianggap tidak adil.

Ini menambah daftar pemimpin Amerika Latin yang memberontak hegemoni AS dan Barat. Fidel Castro, mantan Presiden Kuba adalah figur yang terkenal soal ini.

Pada April 2012 lalu, Presiden Argentina Cristina Fernandez menambah daftar pemimpin yang melakukan perlawanan itu. Cristina menasionalisasi YPF, korporasi penguasa bisnis minyak dan gas yang dimiliki Repsol, korporasi milik Spanyol.

YPF, mirip seperti Pertamina di Indonesia, didirikan pada tahun 1922. Namun YPF diswastakan pada tahun 1993 atas kesepakatan Argentina dengan IMF. Saat itu Argentina kekurangan uang sehingga harus meminjam dari IMF.

Namun Cristina mengatakan lepasnya YPF ke tangan asing membuat Argentina menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang tidak memiliki kedaulatan atas kekayaan migas yang dimiliki sendiri.

Ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa, Karel De Gucht, Senin (6/5/2012), di Brussels, Belgia, mengatakan UE akan mengambil tindakan terhadap Argentina.

Cristina tetap jalan terus dengan tindakannya. Dia tetap melanjutkan langkahnya dengan menunjuk pemimpin baru YPF yang sudah resmi kembali menjadi milik negara dan didukung peraturan yang disetujui parlemen Argentina. Intinya, nasionalisasi itu didukung.

Langkah serupa dilakukan kembali oleh Presiden Bolivia, Evo Morales, yang pekan lalu juga menasionalisasi Red Electra, korporasi milik Spanyol yang menguasai perusahaan listrik negara di Bolivia.

Morales mengatakan Red Electra dinasionalisasi demi kepentingan rakyat kebanyakan, terlebih lagi Red Electra tidak memperluas investasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi listrik.

Langkah Morales adalah yang terbaru setelah menasionalisasi kekayaan minyak dan gas pada tahun 2006 lalu, yang telah lepas ke sejumlah korporasi asing.

Ancaman pada Morales tidak sedikit saat itu dan dikumandangkan bahwa negara ini akan mengalami penurunan investasi karena nasionalisasi itu. Kini yang terjadi, Bolivia lebih makmur setelah Evo Morales menjadi Presiden tahun 2006.

Andaikan Indonesia mempunyai pemimpin yang seperti itu, mungkin rakyat akan lebih makmur dan sejahtera.

Sumber : Kompas

0 comments:

Post a Comment