ALAMEDA, KOMPAS.com — Tujuh puluh tahun silam, hanya beberapa bulan setelah serangan Jepang terhadap pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, moral rakyat dan prajurit AS sedang berada pada titik terendah.
Lalu, seorang perwira penerbang Angkatan Darat AS memiliki ide gila, yakni menerbangkan pesawat pengebom dari kapal induk di tengah Samudra Pasifik untuk melakukan serangan balasan ke daratan utama Jepang.
Perwira tersebut bernama Letnan Kolonel James Harold "Jimmy" Doolittle, dan serangan yang kemudian terbukti sukses itu dinamakan Serangan Doolittle (Doolittle Raid). Di dunia populer, serangan tersebut digambarkan dalam film Pearl Harbor (2001) garapan sutradara Michael Bay serta dibintangi oleh Ben Affleck, Josh Hartnett, dan Kate Beckinsale.
Akhir pekan lalu, para veteran pelaku serangan tersebut yang masih hidup mengenang kembali misi nekat itu. Dari 80 penerbang yang terlibat dalam misi serangan tersebut, tinggal tersisa tiga orang yang masih hidup, yakni Edward Saylor, Thomas Griffin, dan David Thatcher.
Tiga veteran Perang Dunia II yang kini sudah berusia 90-an tahun itu, Sabtu (5/5/2012), berkumpul di Museum Kapal Induk USS Hornet, kapal dengan nama yang sama dengan kapal tempat pesawat-pesawat mereka dulu lepas landas di Alameda, dekat San Francisco, California, AS.
Cucu Doolittle, Jonna Doolittle Hoppes, dua mantan perwira di kapal induk USS Hornet yang asli, serta seorang perwira militer China yang pada waktu mudanya pernah menyelamatkan pilot-pilot AS dalam Serangan Doolittle turut hadir dalam perayaan 70 tahun serangan tersebut.
Saylor mengisahkan bagaimana seluruh awak pesawat Serangan Doolittle dipaksa tinggal landas dari geladak kapal induk USS Hornet (CV-8) yang sempit di tengah hujan dan angin kencang serta di titik yang berjarak lebih jauh dari Jepang dari yang semula direncanakan pada 18 April 1942.
Misi mereka waktu itu adalah menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-25 Mitchell menyeberangi Samudra Pasifik, menjatuhkan bom di kota-kota utama Jepang, lalu mendarat di sembarang tempat yang mereka anggap aman. Misi mereka adalah misi satu arah karena kapasitas tangki bahan bakar mereka hanya cukup mengantar mereka sampai ke wilayah Jepang dan sekitarnya.
"Beberapa anggota tim berpikir mereka akan selamat dari misi itu, tetapi peluangnya sangat kecil," tutur Saylor. Menurut dia, tak satu pun dari 80 penerbang dan awak pesawat yang ikut dalam misi itu pernah tinggal landas dari kapal induk sebelumnya. Waktu itu, kapal-kapal induk AS dirancang hanya untuk membawa kapal-kapal tempur berukuran kecil, bukan pesawat pengebom sekelas B-25.
Misi akhirnya bisa mencapai Jepang dan menjatuhkan bom-bom mereka. Meski hanya menimbulkan kerusakan kecil di Jepang, serangan itu berhasil meningkatkan moral perjuangan rakyat Amerika sekaligus menggoyahkan rasa percaya diri Jepang.
Namun, semua harus dibayar mahal. Tiga awak penyerang tewas saat mencoba mendaratkan pesawat mereka di daratan China. Delapan awak lainnya ditangkap tentara Jepang, tiga orang di antaranya kemudian dieksekusi, dan satu lagi tewas karena sakit di penjara.
Griffin masih ingat saat pesawatnya kehabisan bahan bakar setelah menjalankan misi pengeboman di Jepang. Ia dan teman-temannya langsung mengenakan parasut dan meloncat meninggalkan pesawat.
"Saya keluar dari pesawat saya dengan cepat-cepat meloncat. Setelah itu, saya menempuh perjalanan panjang dan asing menuju permukaan tanah di bawah saya," ungkap Griffin yang kemudian tersangkut di pohon dan menunggu dalam keadaan tergantung di atas tanah sampai matahari terbit.
Tentara Jepang waktu itu juga membunuh para penduduk desa di China yang ketahuan membantu para penerbang AS yang mendarat dekat desa dan menolong mereka meloloskan diri.
Salah seorang anak muda China yang waktu itu membantu para prajurit AS tersebut adalah Letnan Kolonel Chu Chen, perwira aktif di angkatan bersenjata China, yang turut hadir dalam acara peringatan di Alameda pekan lalu. (AP/DHF)
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment