Denuklirisasi Korea dan Koeksistensi Damai
OLEH RENÉ L PATTIRADJAWANE
Militerisasi dan nuklirisasi di Semenanjung Korea akan selalu menjadi warisan usang Perang Dingin yang terus dipertahankan. Ini menimbulkan ketegangan konstan selama tiga generasi sejak berkuasanya Kim Il Sung di Korea Utara sampai cucunya, Kim Jong Un, menggantikan ayahnya, Kim Jong Il. Semenanjung Korea identik dengan krisis nuklir dan militer.
Berkuasanya generasi ketiga Kim, sekali lagi, menunjukkan masalah persenjataan nuklir adalah persoalan perimbangan kekuatan, baik dalam menghadapi AS maupun Korea Selatan untuk menentukan batasan-batasan reunifikasi Korea. Kim Jong Un sebagai penguasa baru bersikap seperti ”anak anjing yang tidak takut macan” dengan mengabaikan semua ancaman dan protes rencana peluncuran roket pembawa satelit.
Paradigma politik Semenanjung Korea menjadi persoalan rumit setelah perundingan enam negara, yang disebut enam pihak, tidak berhasil mencapai kesepakatan berarti. Padahal kesepakatan ini perlu untuk meredakan ketegangan yang selalu mengejutkan semua pihak, mulai dari China, Rusia, AS, Korsel, dan Jepang. Mereka pusing menghadapi Pyongyang yang tidak terkendali. Koeksistensi damai sepertinya juga tidak menjadi pilihan Kim Jong Un.
Banyak faktor yang memengaruhi perkembangan Semenanjung Korea. Ini antara lain mulai dari persepsi dua Korea tentang isu eksistensi ancaman hingga tumbuhnya identitas Korut dengan isu senjata nuklir, termasuk teknologi rudal. Isu Korea ini menambah persoalan di tengah masalah dalam hubungan China-Rusia, China-AS, China-Jepang, Korsel-Jepang yang ternyata tidak mampu menghadirkan détente di Semenanjung Korea.
Selama stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea bisa dipertahankan